Museum Multatuli

Museum Multatuli Rangkasbitung adalah museum anti kolonialisme pertama di Indonesia yang menyimpan nilai historis tinggi dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan keunikannya itu Museum Multatuli memang layak menjadi kebanggaan bagi warga Lebak dan orang Banten pada umumnya.

max-havelaar-multatuli
Max Havelaar – Multatuli sumber: meseummultatuli.id

Lokasi Museum Multatuli

museum-multatuli-rangkasbitung
Sumber: museummultatuli.id

Lokasi Museum Multatuli sangat mudah ditempuh karena tak jauh dari Stasiun Kereta Api Rangkasbitung, tepatnya di Jalan RM. Nataatmaja, Rangkasbitung, Kab. Lebak. Bagi warga perumahan Permata Mutiara Maja yang ingin berkunjung ke sana, anda bisa menumpang commuter line di Stasiun Maja jurusan Rangkasbitung. Sesampai di Stasiun Rangkasbitung anda bisa naik ojek sekitar 1,9 km ke arah selatan melewati Jalan Multatuli.

Sejarah Museum Multatuli

Sesuai namanya, perjalanan panjang museum ini memang tak lepas dari Multatuli yang merupakan nama pena dari pengarang buku Max Havelaar, yakni Edward Douwes Dekker.

eduard douwes dekker
Eduard Douwes Dekker – source: www.dw.com

Mengutip dari situs resmi Museum Multatuli, bangunan museum merupakan bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak (pada 1920-an), kini terus lengkap isinya sebelum peresmiannya pada bulan Mei 2017 nanti, kata salah-seorang konseptornya.

Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia

Walaupun namanya Museum Multatuli, tapi museum ini menjadi gerakan antikolonialisme sejak persinggungan awal berbagai wilayah di Nusantara pada abad 14 dengan Belanda, Portugis, Spanyol hingga berdirinya Republik Indonesia.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=AKw9tnBSJsg[/embedyt]

Saat menjalani jabatan sebagai asisten Wedana Lebak, pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 ini menyaksikan praktik pemerasan oleh bupati setempat terhadap rakyat Lebak.

Pengalaman pahitnya itu kemudian menginspirasi novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860).
“Dan karya romannya itu kelak banyak menginspirasi tokoh-tokoh di Indonesia, seperti Sukarno dan RA Kartini, dalam mengenali penjajajahan,” ungkap Bonnie. Bahkan tokoh nasional Filipina Jose Rizal terinspirasi pula.

Sebelum bukunya beredar, tambah Bonnie, orang-orang di Hindia Belanda tidak begitu menyadari bahwa mereka sedang terjajah.

Adapun Multatuli sama-sekali tidak pernah membayangkan bukunya kelak akan menginspirasi gerakan melawan kolonialisme. “Dia hanya mencita-citakan sistem kolonial yang lebih adil,” ungkap Bonnie.
Ternyata, “Novel itu efeknya lebih dari itu. Lebih dari sekedar menciptakan keadilan dalam kolonialisme, tapi menjadi rujukan agar koloniaisme itu harus diakhiri.”

Dampak kehadiran buku itu, lanjutnya, juga melahirkan Politik Etis oleh pemerintah Hindia Belanda. “Atau gerakan’ balas budi’ terhadap rakyat jajahan, sehingga sebagian rakyat memperoleh kesempatam untuk sekolah.”

Kekurangan Artefak

Walaupun pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten telah merampugkan bangunan museum ini pada November 2016, Bonnie mengakui museum tidak memiliki artefak yang terkait langsung dengan sosok Multatuli.

“Kita harus akui tidak punya artefak yang berkaitan langsung dengan Multatuli,” akunya.
Karena itulah, pemerintah Kabupaten Lebak menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda untuk menduplikasi sejumlah dokumen terkait Eduard Douwes Dekker.

Pemerintah Kabupaten Lebak, melalui bupatinya Iti Octavia Jayabaya, menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda untuk menduplikasi sejumlah dokumen terkait Eduard Douwes Dekker.

Di antaranya adalah surat-menyurat Multatuli dengan pejabat Hindia Belanda tentang kondisi masyarakat Lebak, foto-foto, serta novel Max Havelaar terbitan pertama.

“Yang menarik, kami mendapatkan tegel rumah Multatuli di Lebak,” ungkap Bonnie, yang ikut menemani Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, dalam kunjungan ke Belanda, dua tahun lalu.
Tegel yang berasal dari rumah Multatuli di Lebak tersebut ‘diselamatkan’ seorang turis Belanda pada 1980-an sebelum bangunannya dibongkar. Tegel itu kemudian dia sumbangkan kepada Perhimpunan Multatuli di Belanda.

“Ada dua pasang tegel. Kami menerima sumbangan tegel putih, sementara yang hitam tetap disimpan oleh Perhimpunan Multatuli di Belanda,” paparnya.

Menurutnya, pemerintah Kabupaten Lebak mengharapkan museum Multatuli itu bisa diresmikan pada Mei 2017 nanti. “Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional,” tambahnya.

Mengenalkan Lebak

Terlibat sejak awal sebagai salah-seorang konseptor, Bonnie mengatakan, selain memotret perjalanan gerakan antikolonialisme, museum juga akan menghubungkan sejarah yang terjadi di Lebak dengan sejarah Nusantara dan dunia.

“Jadi kami ingin mengangkat posisi daerah yang kecil ini dalam sejarah Indonesia dan dunia,” katanya.
Salah-satu cara adalah menampilkan orang-orang yang lahir dan pernah tinggal di Rangkasbitung.

“Misalnya Agus Salim, Tan Malaka, atau orang-orang yang terinspirasi seperti WS Rendra,” jelas salah-seorang penggagas Perhimpunan Multatuli di Indonesia ini. Seperti diketahui, WS Rendra pernah menerbitkan kumpulan puisinya berjudul Orang-Orang Rangkasbitung.

Di halaman museum, pihak pengelola juga akan menempatkan patung Multatuli dan patung Saijah dan Adinda -dua tokoh dalam novel Max Havelaar. Tapi, Bonnie berulangkali meyakinkan bahwa pendirian museum Multatuli dan perpustakaan tidak untuk mengkultuskan sosok Multatuli.